PERUBAHAN MAKNA
RUSMAWATI : A1B111206
RIKA : A1B111216
MAHFUZATI : A1B111218
1. Perubahan
Makna
a. Faktor
yang Memudahkan Perubahan Makna
Makna dapat saja berubah dalam
perjalanan kata sebagai alat komunikasi manusia. Hal itu terjadi karena:
1. Kebetulan
2. Kebutuhan
baru
3. Tabu
b. Perubahan
Makna dari Bahasa daerah ke Bahasa Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1993:
91) kata seni dimaknakan: (i) keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari
segi kehalusannya dan keindahannya; (ii) karya yang diciptakan dengan keahlian
yang luar biasa, seperti; tari, ukiran; (iii) kesanggupan akal untuk
menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi; (iv) orang yang berkesanggupan luar
biasa. Bagi masyarakat Melayu, dalam bahasa Melayu kata seni lebih banyak
dihubungkan dengan air seni atau air kencing. Jadi, kata seni yang bermakna air
kencing dalam bahasa Melayu mengalami perubahan makna, sebab dalam BI kata seni
dihubungkan dengan seni musik, seni sastra, seni tari yang lebih mengacu kepada
hasil karya yang bermutu tinggi.
c. Perubahan
Makna Akibat Perubahan Lingkungan
Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan
makna. Bahasa yang digunakan pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu
sama maknanya dengan makna kata yang digunakan di lingkungan masyarakat yang
lain. Misalnya kata cetak. Bagi mereka yang bergerak dalam bidang persuratkabaran,
kata cetak selalu dihubungkan dengan kata tinta, huruf, kertas. Tetapi bagi
tukang bata, kata cetak biasanya dihubungkan dengan kegiatan membuat batu bata,
mencetak batu pada pada cetakannya. Sedangkan bagi petani, kata cetak biasanya
dikaitkan dengan usaha membuka lahan baru untuk pertanian sehingga muncul
urutan kata pencetakan sawah baru.
d. Perubahan
Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indra
Telah diketahui bahwa indra mansuia meliputi indra
penciuman, indra pendengaran, indra penglihatan, indra peraba, dan indra
perasa. Masing-masing indra menimbulkan kelompok kata yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai bahasa.
Indra penciuman mengahsilkan kelompok kata busuk, harum; indra pendengaran
menghasikan kata keras, lembut, merdu; indra penglihatan menimbulkan kata
gelap, jelas, kabur, terang; indra peraba menimbulkan kata halus, kasar;
sedangkan indra perasa menghasilkan kata benci, jengkel, iba, kasihan, rindu,
sedih.
Contoh pertukaran tersebut dapat dicermati melalui kalimat-kalimat di bawah
ini.
(i)
Kata-katanya terlalu pedas.
(ii)
Gadis itu sangat manis sekali.
(iii)
Kata-katanya sangat menyejukkan hati.
(iv)
Wajahnya sangat sedap dipandang mata.
e.
Perubahan Makna Akibat Gabungan Leksem atau Kata
Gabungan kata dapat mengakibatkan perubahan pada makna. Contoh gabungan
kata tersebut dapat dilihat di bawah ini:
(i)
Daya juang
(ii)
Unjuk rasa
(iii)
Serah terima
Leksem daya bermakna dorongan, kekuatan, dan karena telah digabungkan
dengan juang sehingga menjadi daya juang, maka maknanya menjadi dorongan atau
kekuatan untuk berjuang. Jadi, kalau kata atau leksem digabungkan maka maknanya
berubah.
f.
Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa
Makna kata kadang-kadang berubah akibat tanggapan pemakaian bahasa.
Perubahan makna ini menjurus kepada hal-hal yang menyenangkan atau ke hal-hal
yang tidak menyenangkan. Makna yang menjurus ke hal-hal yang menyenangkan,
disebut makna amelioratif, sedangkan
makna yang menjurus ke hal-hal yang tidak menyenangkan, disebut makna peioratif.
Contoh:
(i)
Urutan kata kaki
tangan dahulu bermakna anggota badan, yakni kaki dan tangan. Maknanya
bersifat menyenangkan atau amelioratif. Dengan munculnya urutan kata kaki tangan musuh, kaki tangan Belanda, kaki
tangan Jepang, maka maknanya menjurus ke hal yang tidak menyenangkan,
peioratif. Kaki tangan musuh bermakna orang yang berperan aktif membantu musuh.
(ii)
Kata juara dahulu bermakna kepada penyabungan ayam,
jadi bermakna peioratif. Dikatakan bermakna peioratif sebab perbuatan penyabung
ayam adalah perbuatan yang tidak menyenangkan. Kini muncul urutan kata juara
lomba MTQ, juara renang, juara I, juara dunia. Makna kata juara, yakni
menduduki peringkat baik dalam perlombaan atau pertandingan. Maknanya
menyenangkan, jadi amelioratif.
g.
Perubahan makna Akibat Asosiasi
Asosiasi adalah hubungan antara
makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula kata yang
bersangkutan dengan makna yang baru; yakni makna di dalam lingkungan tempat
kata itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa. Antara makna lama dan maknanya
yang baru terdapat pertalian erat.
Makna asosiasi dapat dihubungkan
dengan:
1.
Tempat/isi/lokasi
2.
Waktu/peristiwa
3.
Warna
4.
Bunyi
5.
Lambang
Contoh makna asosiasi yang berhubungan dengan waktu
atau peristiwa. Tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Namun, kadang-kadang kita berkata, “Mari
kita bertujuh belasan di Bandung.” Di sini yang dimaksud bukan
peristiwanya, tetapi bergembira, merayakan peristiwa tersebut.
h.
Perubahan Makna Akibat Perubahan Bentuk
Telah diketahui wujud kata
memperlihatkan aneka bentuk. Ambillah contoh leksem lompat. Dari leksem lompat
dapat diturunkan kata: berlompatan,
berlompat-lompat, dilompati, dilompatkan, melompat-lompat, pelompat, terlompat.
Bentuk kata berlompatan tidak sama
dengan bentuk kata melompat. Akibat
perubahan bentuk terjadi perubahan makna.
Kata berlompatan bermakna banyak
orang atau binatang yang melompat dari satu tempat ke tempat yang lain. Orang
berkata, “Udang berlompatan dari perahu,”
yang maknanya udang-udang yang berada di dalam perahu melompat ke luar. Makna
kata berlompatan berbeda dengan makna
kata berlompat-lompat. Kata berlompat-lompat bermakna melaksanakan
pekerjaan melompat secara berulang-ulang, entah seorang atau lebih yang
menandakan bahwa kegiatan itu dilakukan karena orang bergembira.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
ditarik simpulan bahwa kalau terjadi perubahan bentuk, terjadi pula perubahan
makna.
2. Perluasan
Makna
Kata-kata bapak, ibu, saudara dahulu digunakan
untuk menyebut orang yang bertalian darah dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah atau seibu
dengan kita. Kata bapak selalu
dihubungkan dengan orang tua laki-laki, dan kata ibu selalu dihubungkan dengan orang tua perempuan. Kini kata bapak, ibu, saudara telah meluas
maknanya, meskipun tidak ada hubungan atau pertalian darah dengan kita. Kita
bisa mengatakan, “Saudara-saudara
yang saya hormati,”; “Saudara Kanter,
Bapak Walikota, Ibu Gubernur Riani.” Dengan kata lain, kata-kata ini menjadi kata
sapaan.
3. Pembatasan
Makna
Di dalam
pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami pembatasan makna. Kata ahli dalam bahasa Melayu bermakna
anggota keluarga, orang yang termasuk di dalam
satu golongan atau keluarga. Kini telah muncul urutan kata ahli bahasa, ahli penyakit dalam, ahli
sejarah. Terlihat pada kita maknanya sudah lebih terbatas, terbatas pada
bidang tertentu. Di sini terlihat pula perubahan makna, tetapi perubahan makna
yang mengacu kepada penyempitan makna, pembatasan makna. Kata ahli pada urutan-urutan yang baru
disebut tadi mengandung makna orang yang pandai di dalam disiplin ilmu
tertentu.
4. Melemahkan
Makna
Dalam
kehidupan sehari-hari, sering kita dapatkan kenyataan bahwa makna kata tetap
dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud penggantian lambang tersebut,
yakni ingin melemahkan makna agar orang yang dikenai kegiatan tidak
tersinggung. Dengan jalan melemahkan makna, kadang-kadang orang tidak merasa
bahwa sesuatu tidakan terlalu berat.
Kita
mendengar kata dirumahkan untuk melemahkan makna kata ditahan. Kalau ditahan,
rasanya terlalu berat secara psikologis bagi yang ditahan, tetapi kalau
digunakan kata dirumahkan, maka maknanya tidak sekeras makna ditahan. Secara
faktual, orang yang dirumahkan sama dengan orang yang ditahan, hanya ia ditahan
di rumah. Ia juga tidak boleh keluar sesuka hati. Hanya dilihat dari segi
makna, kata dirumahkan lebih lemah jika dibandingkan dengan makna kata ditahan.
5. Kekaburan
Makna
Selain pemanbahan unsur berupa unsur segmental, kekaburan makna dapat
dihindari dengan jalan menambah unsur supra segmental. Unsur supra segmental
dimaksud, dapat berupa jeda, nada, atau tekanan. Misalnya kalimat Ali anak Amat
sakit; kalau dilengkapi dengan unsur suprasegmental berupa jeda yang ditandai
oleh tanda baca (,), maka makna kalimat tersebut menjadi jelas. Kalimat Ali,
anak, Amat, sakit; bermakna 3 orang sakit, tetapi kalimat, Ali! Anak Amat,
sakit; bermakna hanya seorang yang sakit.
Kekaburan makna dapat dihindari pula dengan jalan pembicara harus
mengujarkan kata atau kalimat secara jelas (kalau kata atau kalimat yang
diujarkan). Dan alat bicara harus normal. Pada pihak pendengar dituntut adanya
alat bicara yang normal, perhatian pada
objek yang dibicarakan, pemahaman tentang makna kata, banyaknya kata yang
dikuasai, dan penguasaan terhadap konteks yang melatarbelakanginya.
Kadang-kadang kita tidak mengerti apa yang diujar-kan oleh pembicara karena
kita mengantuk, kita tidak mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disampaikan,
kita hanya memper-hatikan gaya pembicara atau ada gangguan dari luar, misalnya
kebisingan, kegaduhan, dan ada mobil yang lewat.
6. Lambang
Tetap, Acuan Berubah
Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan bahasa, kadang-kadang
terdapat lambang yang tetap, acuannya berubah. Urutan kata kereta api dahulu memang dihubungkan dengan kereta yang benar-benar
dijalankan dengan pertolongan api atau kayu bakar. Kini, meskipun kereta api
tidak dijalankan lagi dengan menggunakan kayu bakar, lambangnya tetap, yakni
kereta api.
Dalam BI terdapat kata layar,
berlayar. Kata berlayar dahulu
dihubungkan dengan pergi ke tempat yang lain melalui laut, danau atau sungai
dengan menggunakan perahu yang memakai layar. Acuan layar, ada, kenyataannya,
ada. Kini, kata berlayar tetap
dipertahankan meskipun orang berlayar tidak lagi menggunakan perahu yang
memakai layar. Kini orang berlayar sudah menggunakan kapal laut atau perahu
motor.
7. Makan Tetap,
lambang Berubah
Dalam BI ada kata menipu. Dewasa ini muncul urutan kata pembelian fiktif,
pembayaran fiktif, penerimaan fiktif. Apakah kegiatan ini tidak termasuk
menipu? Ya, terntu tetap terlingkup pada makna menipu. Dengan kata lain, makna
tetap namun lambang berubah atau diganti.